Tuesday, October 20, 2009

Ajaran Budi Pekerti Luhur Sebagai Dimensi Kejiwaan Pencak Silat

PENDAHULUAN
Pencak Silat sebagai bagian integral dari budaya masyarakat Nusantara, dalam substansinya yang utuh dan asli, memiliki dua dimensi yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, walaupun dapat dibedakan, yakni dimensi kejiwaan dan dimensi kejasmanian. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan Nusantara adalah suatu wilayah yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Dimensi kejiwaan Pencak Silat adalah ajaran budi pekerti luhur, sedangkan dimensi kejasmani-annya adalah teknik-teknik Pen-cak Silat yang beraneka ragam dan berbeda-beda. Masing-masing mempunyai sifat dan cara pengkinerjaannya sendiri.
Dimensi kejiwaan dan dimensi kejasmanian Pencak Silat mengandung 4 nilai sebagai satu kesatuan, yaitu nilai-nilai etis, teknis, estetis dan atletis Manifestasi dari nilai-nilai tersebut adalah empat aspek Pencak Silat sebagai satu kesatuan, yaitu aspek mental-spiritual, beladiri, seni dan olahraga.
Keempat nilai ini merupakan sumber bagi lahir, tumbuh dan berkembangnya empat cabang Pencak Silat, yaitu Pencak Silat Mental-Spiritual, Pencak Silat Beladiri, Pencak Silat Seni dan Pencak Silat Olahraga. Masing-masing memiliki aspek mental-spiritual, beladiri, seni dan olahraga sebagai satu kesatuan tetapi dengan penekanan pada salah satu aspek sesuai dengan kecabangannya.
Keempat cabang Pencak Silat ini, beserta aliran-alirannya, dilesta-rikan, dikembangkan dan dima-syarakatkan oleh perguruan-perguruan dan organisasi-organisasi Pencak Silat dalam bentuk pendidikan, pengajaran dan pelatihan serta berbagai kegiatan lainnya.

NILAI-NILAI PENCAK SILAT
Nilai-nilai Pencak Silat adalah semua hal yang dijunjung tinggi serta mewarnai, menjiwai, memotivasi dan mempedomani kehidupan Pencak Silat.
Pencak Silat mempunyai empat nilai sebagai satu kesatuan, yakni : nilai etis, teknis, estetis dan atletis. Nilai etis adalah nilai budi pekerti luhur yang secara implisit dan inheren mengandung nilai-nilai agama sosial dan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai etis berguna bagi kepentingan perdamaian dan persahabatan antar-manusia, antar-kelompok manusia dan antar-masyarakat. Nilai teknis adalah nilai efektif, efisien dan produktif. Nilai ini berguna bagi kepentingan perkelahian untuk membela diri. Nilai estetis adalah nilai keindahan, keselarasan dan keserasian. Nilai ini berguna bagi kepentingan hiburan dan kese-nangan. Nilai atletis (sportis) adalah nilai keolahragaan yang berguna bagi kepentingan membina kesehatan, kebugaran dan ketahanan tubuh.
Keempat nilai tersebut berkaitan erat dengan cita-cita sosial dan moral individual di kalangan masyarakat-masyarakat Nusan-tara. Nilai-nilai etis dan teknis mengacu pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan akan keamanan, sedangkan nilai-nilai estetis dan atletis mengacu pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan akan kesejahteraan. Keduanya meliputi segi kejiwaan dan jasmaniah.
Nilai-nilai etis, teknis, estetis dan atletis sebagai satu kesatuan, selain merupakan nilai-nilai Pencak Silat juga merupakan corak khas dan keistimewaan Pencak Silat yang bersumber dari budaya masyarakat Nusantara. Keempat nilai tersebut merupakan intisari dari jatidiri Pencak Silat.
JATIDIRI PENCAK SILAT
Jatidiri Pencak Silat sebagai suatu totalitas, yang secara kumulatif menunjukkan kesejatian, keutuhan, keaslian dan keunikan Pencak Silat, ditentukan oleh empat hal utama sebagai satu kesatuan.
Hal yang pertama adalah budaya masyarakat Nusantara sebagai asal dan sumber corak khas Pencak Silat, baik dimensi kejiwaannya maupun dimensi kejasmaniannya. Masyarakat Nusantara pada waktu melahirkan Pencak Silat adalah masyarakat paguyuban (Gemein-schaft). Budaya yang melandasi maupun yang dihasilkan oleh masyarakat ini adalah budaya paguyuban, yakni budaya kerukunan, kekeluargaan, kekera-batan, kebersamaan, kesetiaka-wanan, ketenggangrasaan dan kegotongroyongan, yang mewa-jibkan setiap warga masyarakat untuk senantiasa menampilkan sikap, perbuatan dan perilaku
(1) silih-asih, silih-asah dan silih-asuh (bahasa Sunda), yakni saling mencintai, saling membina dan saling mengerti,
(2) melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat saliro hangroso wani (bahasa Jawa) yakni ikut memiliki, ikut bertanggungjawab serta berani melakukan koreksi dalam kaitan dengan kebaikan masyarakat,
(3) lebih menguta-makan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, lebih mengutamakan kewajiban dari-pada hak, serta
(4) musyawarah, silaturahmi dan saling menolong. Cita-cita masyarakat paguyuban adalah terwujudnya tata-tentrem karta-rahardja (baha-sa Jawa), yang artinya tertib, tenteram, adil dan sejahtera. Cita-cita sosial ini harus dilandaskan pada dan dipadukan dengan cita-cita individual warga masyarakat, yakni budi pekerti luhur.

Hal yang kedua adalah ajaran moral khas versi masyarakat Nusantara sebagai basis keji-waan Pencak Silat dan sebagai sumber motivasi penggunaan Pencak Silat. Setiap masyarakat etnis dan lokal di kawasan Nusantara memiliki ajaran moral tersendiri. Semua ajaran ini memiliki kesamaan dalam tujuannya, yakni membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur. Karena itu, semua falsafah dan ajaran moral lokal itu secara umum dapat disebut sebagai ajaran budi pekerti luhur. Semua amalan warga masyarakat dalam bentuk sikap, perbuatan dan perilaku, termasuk yang menyangkut pelaksanaan dan penggunaan Pencak Silat, harus dilandaskan pada ajaran moral ini. Dengan demikian, ajaran budi pekerti luhur harus menjiwai dan menjadi basis kejiwaan Pencak Silat serta menjadi sumber motivasi penggunaan Pencak Silat. Menurut pandangan ajaran ini, Pencak Silat sebagai sistem beladiri yang efektif harus menjadi sarana yang mulia dan digunakan untuk tujuan yang mulia pula. Hal tersebut berarti bahwa Pencak Silat hanya boleh digunakan untuk pembelaan diri. Apabila Pencak Silat harus digunakan dalam perkelahian, pelaksanaannya harus selalu terkendali dan terukur. Menyerang secara sewenang-wenang dan semena-mena merupakan tindakan yang terlarang.

Pencak Silat harus dipandang sebagai kekuatan penangkal dan kekuatan pencegah. Kekuatan penangkal adalah kekuatan yang akan mendorong lawan untuk berpikir dan membuat perhitung-an berulang-ulang jika ia akan menyerang secara fisik. Kekuatan pencegah adalah kekuatan untuk selalu waspada dan hati-hati. Pencak Silat sebagai kekuatan penindak hanya digunakan sebagai pilihan terakhir dan dalam keadaan terpaksa (ultimum remidium).
Hal yang ketiga adalah manifestasi nilai-nilai Pencak Silat dalam empat aspek amalan atau tampilan sebagai satu kesatuan, yakni aspek mental-spiritual, beladiri, seni dan olahraga. Keempat aspek Pencak Silat ini dapat disebut juga sebagai aspek etis, teknis, estetis dan atletis.
Semuanya itu tak dapat dipisahkan satu sama lain tetapi dapat dibedakan berdasarkan pada tujuannya. Aspek mental-spiritual menggambarkan tujuan pembentukan mental manusia Pencak Silat sejati. Aspek beladiri menggambarkan tujuan pembelaan diri dengan mengkinerjakan dan mengguna-kan teknik-teknik khas Pencak Silat. Aspek seni menggambar-kan tujuan keindahan tampilan Pencak Silat. Aspek olahraga menggambarkan tujuan keolahragaan Pencak Silat, yakni kebugaran, ketangkasan dan prestasi olahraga.
Dalam kerangka cita-cita sosial masyarakat paguyuban Nusanta-ra, tujuan aspek mental-spiritual dan beladiri berkaitan dengan faktor keamanan, sedangkan aspek seni dan olahraga berhu-bungan dengan faktor kesejah-teraan.
Hal yang keempat adalah kaidah atau pakem, yakni aturan dasar mengenai tata-cara dan tata-krama pelaksanaan Pencak Silat. Kaidah ini mengandung ajaran moral serta nilai-nilai dan aspek-aspek Pencak Silat sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, aturan dasar yang disebut pakem atau kaidah Pencak Silat itu mengandung norma etika, logika, estetika dan atletika. Kaidah ini dapat diartikan sebagai aturan dasar yang mengatur pelaksanaan Pencak Silat secara etis, teknis, estetis dan atletis sebagai satu kesatuan.
Berdasrkan pada jatidiri Pencak Silat tersebut, Pencak Silat dapat didefinisikan secara hilistik sebagai suatu sistem gerak berpola yang mempunyai nilai-nilai pengendalian diri, pembe-laan diri, keindahan dan kesera-sian gerak serta pembentukan ketangkasan, kebugaran dan ketahanan fisik sesuai dengan keluhuran nilai-nilai Pencak Silat. Semuanya itu didasarkan pada ajaran budi pekerti luhur serta buaya masyarakat Nusantara yang menjunjung tinggi moralitas agama dan masyarakat.
AJARAN BUDI PEKERTI LUHUR
SEBAGAI DIMENSI KEJIWAAN PENCAK SILAT

Setiap sistem beladiri, dari manapun asalnya, selalu memiliki dimensi kejiwaan yang sekaligus juga berfungsi sebagai basis kejiwaan. Dimensi atau basis kejiwaan suatu sistem beladiri, biasanya adalah suatu falsafah atau ajaran moral masyarakat dan budaya dari mana sistem beladiri itu berasal. Sistem beladiri Cina, Jepang dan Korea, masing-masing berbasiskan pada falsafah atau ajaran moral masyarakat serta budaya Cina, Jepang dan Korea. Adanya basis kejiwaan ini merupakan keper-luan, kebutuhan dan keharusan, karena masyarakat dari mana sistem beladiri itu berasal, sangat sadar bahwa sistem beladiri ini akan membahayakan manusia dan masyarakat apabila tidak ada pengendalinya. Falsafah atau ajaran moral yang dijunjung tinggi dan sangat dipatuhi oleh masyarakat merupakan pengendali dan sekaligus juga sumber motivasi dalam penggunaan sistem beladiri itu.
Pencak Silat sebagai sistem beladiri, yang berasal dari budaya masyarakat-masyarakat lokal dan etnis Nusantara, juga mempunyai basis falsafah atau ajaran moral yang dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh masyarakat-masyarakat yang bersangkutan. Falsafah atau ajaran moral ini sebagai dimensi kejiwaan Pencak Silat merupakan satu kesatuan dan satu paket dengan dimensi kejasmaniannya. Pengajaran dan pelatihan teknik-teknik Pencak Silat dan kiat-kiat pengkinerjaannya harus dilakukan bersama-sama dan sejajar dengan pendidikan falsafah atau ajaran moral yang merupakan jiwa, pengendali dan sumber motivasi penggunaan Pencak Silat. Tanpa adanya pengendali, Pencak Silat berpotensi dan berkecenderungan untuk digunakan secara tidak bertang-gungjawab, dan karena itu, akan membahayakan manusia dan masyarakat.
Di wilayah Nusantara, falsafah atau ajaran moral cukup banyak, sama banyak dengan masyarakat lokal dan etnis tempat falsafah atau ajaran tersebut berasal. Tetapi semuanya itu mempunyai inti, dasar dan tujuan yang sama, yakni keyakinan mengenai adanya Tuhan, bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Karena manusia berasal dari Tuhan, maka status manusia adalah mulia. Agar manusia dengan statusnya yang mulia itu dapat diterima oleh Tuhan dengan sebaik-baiknya apabila pada waktunya nanti ia kembali atau pulang kepada-Nya, maka selama hidup maupun dalam kehidupan dan perjalanan hidupnya ia wajib beriman kepada Tuhan, yakni percaya dan berserah diri kepada-Nya serta wajib bertaqwa kepada-Nya, yakni mengamalkan ajaran-ajaran Tuhan. Semuanya itu dilakukan secara konsisten, konsekuen dan berlanjut. Niat dan amalan-amalannya semata-mata karena Tuhan. Tujuan hidupnya adalah untuk mendapatkan ridho Tuhan. Manifestasi kejiwaan dalam wujud moral individual dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan adalah budi pekerti luhur.
Dengan demikian, falsafah atau ajaran moral masyarakat lokal dan etnis yang banyak itu di wilayah Nusantara, dapat digeneralisasikan dengan nama falsafah atau ajaran budi pekerti luhur. Dengan perkataan lain, ajaran budi pekerti luhur adalah generalisasi dan nama umum dari ajaran moral masyarakat-masyarakat lokal dan etnis Nusantara.
Budi adalah kegiatan kejiwaan manusia yang tiga unsur sebagai satu kesatuan, yakni karsa, rasa dan cipta (bahasa Jawa Kuno), yakni kegiatan kehendak, perasaan dan penalaran Pekerti adalah ahlak. Pekerti mencer-minkan budi. Luhur berarti mulia atau terpuji Dengan demikian, makna budi pekerti luhur adalah kegiatan kehendak, perasaan, penalaran dan ahlak yang mulia berlandaskan pada keimanan dan ketaqwaan yang teguh kepada Tuhan. Karsa menentukan keharusan (kewajiban) dan larangan, rasa menentukan baik dan buruk, cipta menentukan benar dan salah. Karena itu, karsa berkaitan dengan mental-spiritual (moral), rasa dengan emosi dan cipta dengan kecerdasan. Manifestasi lahiriah dari budi pekerti luhur dalam wujud amalan individual adalah sikap, perbuatan dan perilaku yang mulia atau terpuji.

Ajaran budi pekerti luhur mewejang kepada manusia agar terus-menerus mengolah dan membina budi pekertinya secara optimal yang diarahkan pada perwujudan kearifan moral, emosional dan inteligensial. Kearifan di sini berarti kemampuan memilah dan memilih secara benar dan tepat dalam kerangka usaha untuk mewujudkan suatu kemuliaan. Pengolahan dan pembinaan karsa bahkan harus diarahkan pada perwujudan kemanunggalan karsa manusia dengan Karsa Tuhan. Selain itu, memposisikan, memfungsikan dan memerankan karsa sebagai pemimpin, pengarah dan pengendali rasa, cipta dan ahlak. Dengan cara demikian, semua amalan manusia akan didasarkan pada kearifan dan akan selaras dengan Karsa Tuhan. Hal itu berarti bahwa semua amalan itu akan mendapat ridho Tuhan dan akan menjadikan manusia bernilai di hadapan Tuhan maupun sesama manusia.

Dengan demikian, ajaran budi pekerti luhur merupakan pandangan hidup dan wejangan tentang kearifan. Karena terwariskan dan harus senantiasa dijunjung tinggi oleh warga masyarakat, maka ajaran budi pekerti luhur yang religius itu dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan kearifan tradisional masyarakat-masyara-kat Nusantara.
Falsafah adalah pandangan dan kebijaksanaan hidup manusia dalam kaitan dengan nilai-nilai sosial, budaya, moral dan agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Menurut persepsi masyarakat lokal dan etnis Nusantara, falsafah mengandung ajaran, dan sebaliknya, ajaran mengandung falsafah. Ajaran inheren pada falsafah dan falsafah inheren pada ajaran. Falsafah dan ajaran sama-sama memformulasikan pandangan tentang dan wejangan bijaksana kepada manusia dalam hidup, kehidupan dan perjalanan hidup-nya. Substansi wejangan meliputi petunjuk-petunjuk untuk dilaksa-nakan dan larangan-larangan untuk dijauhi. Dengan demikian, falsafah budi pekerti luhur dapat disebut juga sebagai ajaran budi pekerti luhur. Keduanya mempunyai arti yang sama.
Ajaran budi pekerti luhur adalah ajaran moral yang ber-Ketuhanan. Menurut ajaran ini, manusia dalam hidup, kehidupan dan perjalanan hidupnya mempu-nyai empat macam kedudukan mulia sebagai satu kesatuan.
Yang pertama adalah kedudukan sebagai mahluk Tuhan, karena manusia berasal dari dan akan kembali kepada Tuhan. Tuhan adalah asal dan tujuan hidup semua manusia. Karena manusia berasal dari Tuhan, maka manusia adalah mulia. Agar manusia dapat diterima dengan baik oleh Tuhan dan ditempatkan dengan baik di sisinya pada waktu ia kembali kepadanya, maka selama hidupnya ia harus menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur.
Yang kedua adalah kedudukan sebagai mahluk pribadi, karena setiap manusia mempunyai kepribadian tersendiri yang unik dan berbeda dengan manusia lain. Kepribadian merupakan karakteristik seseorang manusia.
Yang ketiga adalah kedudukan sebagai mahluk sosial, karena di dunia ini manusia tidak hidup sendiri tetapi hidup dalam satu masyarakat bersama-sama de-ngan manusia-manusia lain.
Yang keempat adalah kedudukan sebagai mahluk alam semesta, karena manusia hidup di suatu lingkungan yang merupakan bagian integral dari alam semesta beserta isinya (ekologinya) yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia sebagai karunia-Nya.
Untuk masing-masing kedudukannya itu, manusia mempunyai kewajiban mulia (noblesse oblige) yang harus dipenuhi. Kewajiban mulia manusia sebagai mahluk Tuhan, adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta senantiasa menegakkan nilai-nilai agama. Kewajiban mulia manusia sebagai mahluk pribadi, adalah meluhurkan pribadinya dan senantiasa menegakkan nilai-nilai moral pribadi. Kewajiban mulia manusia sebagai mahluk sosial, adalah menegakkan perdamaian dan persahabatan serta nilai-nilai moral sosial dan kultural. Kewajiban mulia manusia sebagai mahluk alam semesta, adalah mencintai lingkungan hidupnya dan senantiasa mene-gakkan nilai-nilai moral natural-universal. Semua kewajiban itu saling terkait dan berhubungan satu sama lain serta diarahkan untuk mencapai satu tujuan, yakni mendapatkan ridho Tuhan. Kewajiban mulia itu diuraikan secara singkat di bawah ini.
Sebagai mahluk Tuhan, kewajiban mulia manusia adalah antara lain : menyembah Tuhan menurut tata-cara agama yang berlaku sebagai rasa terima kasih atas eksistensi diri dan hidupnya serta berbagai karunia-Nya yang lain ; mengamalkan ajaran Tuhan dan agama dalam kehidupan pribadi dan sosialnya maupun kehidupannya di alam semesta ; melaksanakan petunjuk-petunjuk Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya, bukan hanya dalam kehidupan keagamaannya tetapi juga dalam kehidupan pribadi, kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan di alam semesta ; sikap, perbuatan dan perilakunya selalu terkendali, terukur dan terarah agar selalu berada di jalan Tuhan ; ikhtiar-ikhtiarnya untuk mencapai tujuan tidak dilakukan dengan mengha-lalkan segala cara (finis non santificat medium) tetapi dilakukan dengan cara yang dibenarkan oleh dan ditunjukkan dalam ajaran Tuhan.
Sebagai mahluk pribadi, kewajib-an mulia manusia adalah antara lain : bijaksana, cerdas, cerdik, cekatan, cendekia dan terampil, selalu hati-hati dan berjaga-jaga, mampu menganti-sipasi dan selalu mendahului tantangan dan mampu memimpin dirinya sendiri ; peka, peduli dan cepat me-nyesuaikan diri pada perubahan dan perkembangan, ulet dan dapat mengembangkan kemam-puan dalam mengatasi kesulitan dan permasalahan, memegang teguh prinsip dan rajin, kreatif, inovatif, cergas, tangkas dan selalu mengejar kemajuan ; senantiasa mawas diri, menilai diri, memperbaiki diri, menjaga kewibawaan dan martabat diri ; berpikir luas, prospektif, obyektif, logis, kritis dan positif ; mengendalikan diri dan kepen-tingan pribadi ; berbuat yang terbaik, sabar, dapat dipercaya, bersungguh-sunguh pada hal-hal yang prinsipiil, menghargai waktu dan optimis ; menegak-kan disiplin pribadi, kebenaran, kejujuran dan keadilan serta tahan-uji terhadap segala cobaan dan godaan ; bertanggungjawab atas penampilan sikap, perbuatan dan perilakunya ; berpola hidup efektif, efisien, produktif, sederhana, hemat, murah hati, rendah hati, bersih hati, tahu diri ; mau menerima nasihat orang lain, ramah, santun, tidak mudah marah, frustrasi dan putus asa ; tidak suka egosentrik, mengeluh, sombong, iri, dengki, buruk sangka, bersikap apriori, menyu-sahkan orang lain, munafik dan suka bekerja keras.
Sebagai mahluk sosial, kewajiban mulia manusia adalah, antara lain : menghargai serta senanti-asa menegakkan kebersamaan, kerukunan, kegotongroyongan, persaudaraan dan kesetia-kawanan sosial ; menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan diri sendiri ; mematuhi dan menegakkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya ; peduli pada persoalan dan pembangunan masyarakatnya ; mau mengerti kepentingan pihak lain, moderat, menghargai perbedaan pendapat ; senantiasa bertenggangrasa, suka bergaul dan santun dalam pergaulan, berketeladanan dalam memimpin, melakukan pendekat-an dengan cara yang dapat diterima, suka bersilaturahmi, bersedia minta maaf jika bersalah dan bersedia memberi maaf jika diminta, terbuka terhadap nasihat, saran, kritik dan koreksi pihak lain, mendukung dan menegakkan disiplin sosial dan kepemimpinan sosial yang konsisten dan konsekuen, dewasa secara sosial, suka bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah, suka menolong orang yang sedang dalam kesulitan dan kesusahan, tidak berpikiran sempit, fanatik, primordialistik dan sektarian.
Sebagai mahluk alam semesta, kewajiban mulia manusia adalah antara lain : mencintai alam seisinya berupa lingkungan hidup, flora, fauna dan lain-lainnya sebagai karunia Tuhan untuk manusia ; mengamankan, melestarikan serta meningkatkan kondisi, keseimbangan dan kualitas alam semesta agar menjadi kondusif bagi eksistensi serta perkembangan dan pengembangan hidup manusia serta dapat memberi kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan kepada manusia ; senantiasa menegakkan etika dan disiplin lingkungan hidup dengan memelihara kebersihan, kesehatan, ketertiban, keteraturan dan kenyamanannya serta mencegah dan mengatasi berbagai bentuk pencemaran dan perusakan lingkungan.
Bagian utama dari ajaran budi pekerti luhur adalah disiplin dan kepemimpinan Pencak Silat. Disiplin Pencak Silat pada dasarnya adalah disiplin pribadi dan disiplin sosial. Disiplin ini wajib ditegakkan oleh seluruh warga masyarakat, sedangkan kepemimpinan harus ditegakkan oleh mereka yang oleh masyarakat atau suatu kelompok masyarakat diakui dan diterima sebagai pemimpin.
Disiplin mempunyai tiga penger-tian sebagai satu kesatuan. Pengertian yang pertama adalah sikap selalu menegakkan kaidah-kaidah, nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan agama serta tata-susila sosial. Pengertian yang kedua adalah ketaatan dan kepatuhan yang jujur, ikhlas, mandiri, konsekuen dan bertanggung-jawab terhadap peraturan, tata-susila, tata-krama dan kesepa-katan yang absah. Pengertian yang ketiga adalah kesanggupan untuk mengendalikan dan menata diri.
Berdasarkan pada pengertian tersebut, melaksanakan dan menegakkan disiplin mempunyai multi-nilai, antara lain : nilai keimanan dan ketaqwaan yang teguh kepada Tuhan, nilai amalan yang mulia dan terpuji, nilai tanggungjawab pribadi dan tanggungjawab sosial, nilai kebersamaan dan kesetiaka-wanan sosial, nilai pengabdian sosial, nilai toleransi, tenggang-rasa dan kepedulian sosial, serta nilai kedewasaan mental-spiritual dan sosial.
Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang banyak dalam pencapaian tujuan bersama. Kepemimpinan menurut ajaran budi pekerti luhur bukan kepemimpinan yang didasarkan pada kekuatan fisik ataupun kekuasaan formal, tetapi pada kewibawaan yang terbentuk dari kepribadian, keteladan dan pengabdian si pemimpin yang diterima oleh banyak orang lain karena kepemimpinan tersebut telah membentuk kemampuan-kemampuan yang berguna bagi kehidupan mereka, termasuk kemampuan memimpin diri mereka sendiri untuk mewujud-kan kemajuan yang bermutu, mulia dan berguna bagi diri, kelompok dan masyarakat mere-ka . Karena itu, orang-orang lain ini bersedia dan merasa senang menjadi pengikut si pemimpin.
Dengan kualifikasinya yang demikian itu, kepemimpinan menurut ajaran budi pekerti luhur mempunyai tiga sifat sebagai satu kesatuan, yakni sifat asih, asah dan asuh. Asih adalah sifat senantiasa memahami aspirasi, kepentingan, harga diri dan persoalan pengikut, setia kepada anak-buah, dekat dan akrab serta membina silaturahmi dengan pengikut. Asah adalah sifat senantiasa mawas diri, memper-baiki diri dan mening-katkan kualitas diri serta membangun, memelihara dan meningkatkan kecerdasan maupun kearifan spiritual, moral, emosional dan intelektual pengikut. Asuh adalah sifat senantiasa memotivasi, mengarahkan, membimbing dan mengayomi pengikut secara persuasif dan edukatif, serta melayani dan memberi dorongan maupun kesempatan yang kondusif pada pengikut untuk terus maju.

Menurut ajaran budi pekerti luhur, kepemimpinan yang bersifat asih, asah dan asuh itu harus dilaksanakan berdasarkan tujuh asas sebagai satu kesatuan, yakni asas ketaqwaan kepada Tuhan, keteladanan, kekeluargaan, kesetiakawanan, keseder-hanaan, kekesatriaan dan kecendikiawanan. Berdasarkan pada asas-asas tersebut, kepemimpinan berkaitan dan dikaitkan dengan :

(1)
amanah Tuhan yang diamalkan untuk membentuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur,
(2)
teladan-teladan terpuji dalam menegakkan nilai-nilai agama, moral dan sosial-budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,
(3)
semangat kekeluargaan yang menjiwai interaksi antara pemim-pin dengan pengikut dan antar para pengikut,
(4)
sikap setiakawan dan peduli pemimpin kepada pengikut, dan sebaliknya, pengikut kepada pemimpin dan antar para pengikut,
(5)
kesederhanaan berpikir dan bertindak dalam upaya mencapai tujuan,
(6)
penegakan kebenaran, kejujuran dan keadilan serta penguatan daya pengendalian diri, rasa tanggungjawab dan ketahanan mental dalam menghadapi cobaan dan godaan, dan
(7)
pembentukan dan pemeliharan kecerdasan dan keterampilan, kemampuan me-mimpin diri sendiri, kewibawaan, kebijaksanaan, kemampuan mengantisipasi dan berjaga-jaga terhadap risiko dan kemungkinan paling buruk yang dapat dan akan terjadi.
Dalam hubungan dengan kedudukan, posisi dan kewajiban manusia, falsafah dan ajaran budi pekerti luhur mengandung tujuh wawasan (sikap pandang), yakni wawasan Ketuhanan, kemanu-siaan, perdamaian, persaha-batan, ketahanan, pembangunan, kejuangan dan kekesatriaan. Berdasarkan pada wawasan tersebut, setiap amalan manusia
(1) harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan,
(2) harus tidak melanggar etika kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) harus bersikap damai dan bersahabat dalam menghadapi siapa saja, termasuk oponen,
(4) harus dapat mewujudkan ketangguhan dan keuletan mental dan fisikal dalam menghadapi berbagai kendala dan permasalahan,
(5) harus dapat meningkatkan kualitas dan kemajuan diri secara terus-menerus,
(6) harus bersikap pantang menyerah dan terus maju dalam perjuangan untuk mewujudkan tujuan yang mulia dan
(7) harus senantiasa menegakkan kebenaran, kejujur-an dan keadilan serta tahan-uji dalam menghadapi segala cobaan dan godaan.

Tujuan ajaran budi pekerti luhur adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berkepribadian luhur, senantiasa menegakkan perdamaian dan persabatan serta mencintai lingkungan hidupnya. Ukuran ini mengharuskan manusia untuk memiliki daya, kesang-gupan dan ketahanan pengenda-lian diri yang kuat, yang dengan itu ia wajib selalu mengendalikan diri dan kepentingannya. Ajaran budi pekerti luhur beserta tujuannya bersifat normatif dan imperatif untuk diaplikasikan dan diwujudkan dalam hidup, perja-lanan hidup dan kehidupan manusia.
Inti ajaran budi pekerti luhur adalah mengendalikan diri. Mengendalikan diri bukan mengekang diri, tetapi menguasai, menempatkan, membawa, memfungsikan, memerankan dan mengarahkan diri dengan cara dan untuk tujuan yang mulia atas dasar kesadaran sendiri dan niat yang mandiri.
Makna dimensi kejiwaan Pencak Silat sama dengan inti ajaran budi pekerti luhur, yakni mengendalikan diri. Makna ini merupakan amanah bagi setiap pelaku Pencak Silat untuk mengkinerjakan dan menggu-nakan Pencak Silat dalam perkelahian secara terkendali dan terukur. Tidak over dosis atau berlebih, sembarangan, sewe-nang-wenang dan semena-mena, dalam wujud penganiayaan atau menghilangkan nyawa.
Dalam hubungan itu, ajaran budi pekerti luhur beserta tujuannya merupakan salah satu kriteria kejiwaan Pencak Silat asli, yakni Pencak Silat yang berasal atau merupakan produk dari budaya masyarakat lokal dan etnis Nusantara. Sistem beladiri yang menamakan dirinya Pencak Silat tetapi basis kejiwaannya bukan ajaran budi pekerti luhur, pada hakekatnya bukan Pencak Silat.
Pencak Silat pada hakekatnya adalah substansi dan sarana pendidikan kejiwaan dan kejasmanian. Pendidikan dalam arti luas mencakup juga pengajaran dan pelatihan. Dalam arti sempit, pendidikan menyangkut budi pekerti (mental), kepribadian, sikap dan perilaku, pengajaran menyangkut pengetahuan dan wawasan, sedangkan pelatihan menyangkut keterampilan teknis.
Pendidikan, pengajaran dan pelatihan Pencak Silat mencakup kedua dimensinya secara bersa-ma-sama dan terpadu. Hal tersebut berarti bahwa secara kuantitatif dan kualitatif pelaksa-naan serta hasil pendidikan harus dalam kondisi selaras, seimbang dan serasi dengan pelaksanaan serta hasil pengajaran dan pelatihan Pencak Silat. Semakin luas dan tinggi kuantitas dan kualitas pengetahuan, teori, keterampilan dan kiat seorang pelaku Pencak Silat Beladiri, harus semakin mantap dan tinggi kualitas penghayatan dan pengamalannya terhadap ajaran budi pekerti luhur. Semakin tinggi tingkat pengajaran dan pelatihan Pencak Silat yang diberikan kepada seseorang, harus semakin dalam dan luas pendidikan ajaran budi pekerti luhur yang diberikan kepadanya. Kedalaman dan keluasan itu bahkan harus terwujud dalam kemantapan penghayatan dan pengamalan ajaran tersebut. Kualifikasi serta keselarasan mental, intelejensi dan fisikal yang demikian itu dapat dirumuskan dengan ungkapan taqwa, tanggap, tangguh, tanggon dan trengginas.
Taqwa berarti beriman teguh kepada Tuhan dengan melaksanakan seluruh ajaran-Nya secara berlanjut, konsisten dan konsekuen, berbudi pekerti luhur, terus meningkatkan kualitas diri serta selalu menempatkan, memerankan dan memfungsikan dirinya sebagai warga masyarakat yang berdisiplin dan berdedikasi sosial, yakni warga masyarakat yang patuh dan taat secara tulus, ikhlas, mandiri dan konsekuen kepada tatanan, peraturan, tata-krama, tata-cara dan kesepakatan masyarakat yang absah dan berlaku serta berpartisipasi aktif dan positif dalam upaya-upaya untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat berdasarkan rasa kebersamaan, rasa kerukunan, rasa perdamaian, rasa persaha-batan, rasa kesetiakawanan, rasa tanggungjawab sosial dan rasa tanggungjawab terhadap Tuhan.
Dalam kaitan dengan pengkiner-jaan Pencak Silat Beladiri, taqwa berarti selalu memohon kekuatan lahir dan batin serta perlindungan, bimbingan dan petunjuk Tuhan agar pengkinerjaan Pencak Silat Beladiri yang dilakukan mempu-nyai keunggulan kompetitif yang maksimal tetapi senantiasa terukur dan terkendali, sehingga tidak berakibat negatif terhadap lawan yang memusuhi, sebalik-nya dapat mewujudkan perdamai-an dan persahabatan yang abadi dengan lawan. Semuanya itu berlandaskan pada keimanan yang teguh kepada Tuhan.

Tanggap berarti peka, peduli, antisipatif, pro-aktif dan mempunyai kesiapan diri terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi berikut semua kecenderungan, tuntutan dan tantangan yang menyertainya berdasarkan sikap berani mawas diri dan terus meningkatkan kualitas diri.

Dalam kaitan dengan pengkiner-jaan Pencak Silat Beladiri, tanggap berarti peka, cerdas, cerdik dan cermat dalam mengantisipasi serta memahami kekuatan dan gelagat tindakan lawan serta situasi, kondisi, kesempatan dan peluang yang berkembang maupun dalam menyusun kekuatan dan kiat untuk mengungguli kekuatan lawan secara cepat dan tepat. Semuanya itu berlandaskan pada sikap hati-hati, waspada, waskita dan sasmita (selalu mendahului tantangan).
Tangguh berarti keuletan dan kesanggupan mengembangkan kemampuan dalam menghadapi dan menjawab setiap tantangan serta mengatasi setiap persoalan, hambatan, gangguan dan ancaman maupun untuk mencapai suatu tujuan mulia berdasarkan sikap pejuang sejati yang pantang menyerah.
Dalam kaitan dengan pengkiner-jaan Pencak Silat Beladiri, tangguh berarti banyak inisiatif dan kreasi, panjang akal dan dapat mengembangkan kemam-puan dalam mengatasi permasa-lahan atau kesulitan yang dihadapi sebagai upaya untuk mengungguli lawan.

Tanggon (bahasa Jawa) berarti sanggup menegakkan keadilan, kejujuran dan kebenaran, teguh, konsisten dan konsekuen memegang prinsip, mempunyai rasa harga diri dan kepribadian yang kuat, penuh perhitungan dalam bertindak, berdisiplin, selalu ingat dan waspada serta tahan-uji terhadap segala godaan dan cobaan.

Dalam kaitan dengan pengkiner-jaan Pencak Silat Beladiri, tanggon berarti tahan-uji, tegar dan tegas, tidak mudah terpancing, tertipu atau bingung serta tidak mudah kehilangan akal dan inisiatif dalam menghadapi berbagai bentuk tindakan lawan yang sulit. Semuanya itu berlandaskan pada sikap percaya diri yang kokoh serta moril dan nyali yang selalu tinggi.

Trengginas (bahasa Jawa) berarti enerjik, aktif, eksploratif, kreatif, inovatif, berpikir luas dan ke masa depan serta sanggup bekerja keras untuk mengejar kemajuan yang bermutu dan bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat berdasarkan sikap kesediaan untuk membangun diri sendiri dan sikap merasa bertanggungjawab atas pembangunan masyarakat-nya.

Dalam kaitan dengan pengkiner-jaan Pencak Silat Beladiri, trengginas berarti cergas, aktif, kreatif, inovatif, wasis, selalu mencari akal, inisiatif dan peluang, tangkas, gesit dan lincah serta selalu berupaya untuk merebut inisiatif lawan dan membuat lawan tidak berdaya. Semuanya itu berlandaskan pada sikap pantang kalah.
Hasil akhir ideal yang diharapkan dari pendidikan, pengajaran dan pelatihan Pencak Silat adalah terbentuknya manusia yang perkasa tetapi rendah hati (tawadhu), yang dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) disesantikan dengan bhirawa anuraraga, yang berarti perkasa tetapi rendah hati. Manusia yang demikian itu dilambangkan sebagai batang padi yang merunduk karena butir padinya yang lebat isinya. Semakin lebat dan berisi padinya, semakin merunduk batangnya. Karena itu, Pencak Silat disebut juga sebagai ilmu padi, yakni ilmu tentang kemahiran mengkinerjakan Pencak Silat yang dikendalikan oleh keluhuran budi pekerti, yang menjadikan manusia semakin rendah hati apabila kemahirannya semakin tinggi.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari keseluruhan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan secara singkat bahwa dimensi kejiwaan Pencak Silat adalah ajaran budi pekerti luhur. Ajaran ini selain merupakan dimensi kejiwaan juga merupakan basis kejiwaan, sumber motivasi, pengukur dan pengendali dalam pengkinerjaan dan penggunaan Pencak Silat secara fisik.
Sumber : www.persilat.org

No comments:

Ratings and Recommendations by outbrain